Petualangan

Petualangan
Pancuran 7 Baturraden PWT

Foto diri

Foto diri

Senin, 08 November 2010

Seperti halnya dengan dewa-dewa Yunani kuno, maka para dewa yang ada dalam pewayanganpun merupakan insan Tuhan yang serupa dengan manusia. Perbedaannya hanya kedudukan dan harkatnya baik secara lahiriah maupun sebagai rohaniah lebih tinggi daripada manusia. Tempat kelahiran dewa dan kelahiran cerita Ramayana dan Mahabharata adalah di India. Sedangka di Indonesia kedua cerita tersebut bersumberkan kepada para Sang Hyang yang pernah dipuja dan disembah masyarakat Jawa pada zaman Mithos Kuna. Pada masa pemerintahan Kediri di Jawa Timur, antara tahun 900 hingga tahun 1045, tokoh Sang Hyang tersebut diabadikan lagi dalam cerita pewayangan, bahkan tercantum pula dalam kitab kesusasteraan pedalangan, sedangkan harkat derajatnya berada di atas para Batara dari India.

Mungkin akan berlainan pandangan bagi dewa-dewa India dan para Batara di Indonesia, karena dengan sebutan dewa bagi Batara Guru dan Batara-Batara lainnya, kiranya kurang tepat. Oleh sebab itu bagi dunia pewayangan kita, akan lebih tepat kiranya, bila sebutan bagi para dewa itu disebut Batara, misalnya Batara Guru, Batara Brama, dan lain sebagainya. Sesuai dengan Kitab Pustaka Raja Purwa yang di susun oleh R.Ng. Ronggowarsito, maka para dewa dari India berada di bawah para Sang Hyang, baik dalam susunan kekeluargaan maupun dalam kedudukannya. Hal tersebut mungkin karena adanya pergeseran dan perubahan zaman, di mana perubahan kepercayaan sering terjadi, umpamanya dari Mithos Kuna ke Mithos Hindu, dari Mithos Hindu ke Mithos Islam.

Di samping perubahan kebudayan akibat perubahan kepercayaan tersebut, mempengaruhi pula akan kehidupan sosial masyarakat Jawa dan mempengaruhi pula akan ketatanegaraan. Namun yang tetap utuh dalam perubahan zaman tersebut adalah pengagungan masyarakat terhadap rajanya yang berkepercayaan bahwa raja-raja yang memerintah tanah Jawa adalah keturunan para Pandawa, artinya bahwa para raja di tanah Jawa adalah keturunan para Sang Hyang. Munculnya seorang tokoh Sang Hyang yang kita kenal sekarang dengan nama Semar, yang tersurat dalam beberapa kitab yang diterbitkan pada zaman kebudayaan Jawa-Hindu. Kitab tersebut seperti kitab Sudamala, kitab Gathotkacasraya dan cerita-cerita Panji. Kitab-kitab tersebut merupakan pembuka jalan bagi pengenalan kembali tokoh-tokoh Sang Hyang, di antaranya Semar yang dalam cerita Pewayangan sebelumnya dikenal sebagai jodek Santa, Smarasanta. Kemudian nama-nama Jodek Santa, Smarasanta diabadikan dalam cerita Ramayana dan Mahabharata dan dipuja masyarakat sebagai leluhurnya, karena tingkah laku Semar melambangkan kemasyarakatan yang abadi.

Tokoh yang memegang peranan utama dan hampir pada setiap lakon ditampilkan ialah tokoh Semar yang juga disebut Sang Hyang Ismaya. Keistimewaan Semar ini adalah dalam bentuk badannya dan silsilahnya yang sampai kini masih menjadi teka-teki bagi rakyat Indonesia, siapakah sebenarnya Semar itu. Karena sifatnya yang samar-samar itulah, maka bentuk Semar dibedakan dengan wayang lainnya. Kita ketahui bahwa Semar putra Sang Hyang Tunggal, saudara tua Sang Manikmaya atau Batara Guru. Adapun tugas Semar dalam dunia (mercapada) ini, ialah mengayomi dan mengiringi para satriya yang jujur, adil-paramarta. Di Mahabharata, Semar digambarkan oleh para Pandawa dalam menunaikan tugas hidupnya.

(Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 66, Departemen P & K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983).

Sumber :

Supriyono dkk, 2008, Pedalangan Jilid 1 untuk SMK, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 172 – 173.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar